Surabaya, Jawa Timur — Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali menjadi sorotan setelah mencuatnya data mengenai utang piutang yang belum terselesaikan. Tercatat, jumlah piutang Pemkot Surabaya mencapai angka fantastis, yakni Rp452 miliar. Angka tersebut bukan hanya sekadar catatan keuangan, tetapi juga menjadi refleksi tentang tata kelola administrasi, akuntabilitas, dan amanah dalam pengelolaan keuangan daerah.
Laporan ini terungkap dalam hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kota Surabaya Tahun Anggaran 2023 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Timur. Meski Pemkot mendapat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), namun BPK tetap memberikan sejumlah catatan serius, khususnya terkait piutang yang belum tertagih secara maksimal.
Rinciannya: Piutang dari Mana Saja?
Dari total Rp452 miliar piutang yang tercatat hingga akhir 2023, sebagian besar berasal dari:
-
Piutang Pajak Daerah: Termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak hotel, restoran, dan hiburan yang belum dibayarkan oleh wajib pajak.
-
Retribusi Daerah: Seperti retribusi parkir, izin usaha, dan jasa pelayanan.
-
Sewa Aset Daerah: Termasuk sewa kios, tanah, dan bangunan milik pemerintah kota.
-
Tuntutan Ganti Rugi (TGR): Dari ASN atau pihak ketiga yang merugikan keuangan daerah namun belum menyelesaikan pengembalian.
BPK menyebutkan bahwa masih lemahnya pengawasan dan penagihan aktif dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait menjadi penyebab utama lambannya proses penyelesaian piutang tersebut.

Baca juga: Sekolah di Jember Dilakukan Secara Online Dampak Kelangkaan BBM
Dari Angka ke Tanggung Jawab: Mengelola dengan Amanah
Angka Rp452 miliar bukan sekadar nominal di atas kertas. Itu adalah potensi penerimaan yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, peningkatan pendidikan dan kesehatan, serta program sosial lainnya. Ketika piutang tidak tertagih, maka rakyatlah yang pada akhirnya dirugikan karena pemerintah kehilangan sumber daya penting untuk membiayai berbagai kebutuhan masyarakat.
“Ini bukan hanya soal keuangan, tapi soal amanah dan tanggung jawab. Setiap rupiah dalam APBD adalah milik rakyat, maka pengelolaannya pun harus akuntabel,” kata Dr. Farhan Lazuardi, pakar tata kelola publik dari Universitas Airlangga.
Tindakan yang Harus Dipercepat
Menanggapi catatan dari BPK, sejumlah pengamat dan lembaga pengawas mengusulkan beberapa langkah konkret:
-
Audit Ulang Piutang Kadaluarsa: Memverifikasi piutang yang sudah lama tidak tertagih dan menilai kemungkinan penghapusan secara administratif sesuai ketentuan hukum.
-
Optimalisasi Sistem Penagihan Digital: Mengintegrasikan sistem informasi pajak dan retribusi daerah untuk memudahkan penagihan serta memperkecil potensi kebocoran.
-
Sanksi Tegas bagi OPD Lamban: Memberikan evaluasi atau sanksi kepada dinas atau OPD yang gagal mencapai target penagihan piutang.
-
Publikasi dan Transparansi: Menyediakan daftar piutang secara terbuka (tanpa menyebut identitas pribadi) untuk mendorong akuntabilitas publik.
Komitmen Pemkot: Perlu Bukti, Bukan Janji
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, sebelumnya telah menekankan pentingnya efisiensi anggaran dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui berbagai strategi. Namun kini, dengan munculnya angka piutang yang besar, publik menunggu tindakan nyata dari Pemkot.
Apalagi, di tengah banyaknya program ambisius seperti pembangunan infrastruktur baru, penguatan UMKM, dan transformasi layanan digital, kejelasan terhadap piutang ini menjadi batu ujian keseriusan Pemkot dalam mengelola uang rakyat.
Penutup: Amanah Tidak Bisa Ditunda
Piutang Rp452 miliar bukan sekadar utang, tetapi cerminan amanah yang belum selesai. Ini adalah kesempatan sekaligus peringatan bagi Pemkot Surabaya: jika ingin membangun kota yang kuat dan dipercaya rakyat, maka kepercayaan itu harus dibalas dengan pengelolaan keuangan yang bersih, transparan, dan profesional.